TEORI BUDAYA POLITIK DAN SOSIALISASI POLITIK

Budaya politik berati kecenderungan berperilaku individu terhadap sistem politik yang berlaku dalam suatu negara. Dalam pendekatan budaya politik, individu merupakan subjek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalan arti pendapat individulah yang membangun kesimpulan penelitian.

Sementara itu, sosialisasi politik merupakan instrumen yang berupaya melestarikan sebuah sistem politik. Melalui serangkaian mekanisme dalam sosialisasi politik, individu dari generasi selanjutnya dididik untuk memahami definisi, cara, dan tujuan sistem politik yang berlangsung dalam suatu negara.

Tipe-tipe Budaya Politik

1. Budaya Politik Parokial

Merupakan tipe budaya politik yang ikatan seorang individu terhadap sistem politik tidak begitu kuat, baik secara kognitif, maupun afektif. Dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apa pun dari sistem politik. Hal ini diakibatkan individu tidak merasa bahwa ia adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Ia hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengannya, misalnya suku, agama, ataupun daerahnya.

2. Budaya Politik Subjek

Tingkatan budaya politik subjek lebih tinggi daripada budaya parokial karena individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subjek memberi perhatian yang cukup terhadap politik, tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga atasnya.

3. Budaya Politik Partisipan

Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya dari budaya subjek. Dalam budaya politik partisipan individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang mempunyai sejumlah hak dan kewajiban, misalnya hak untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan pada sisi lain, misalnya, kewajiban untuk, membayar pajak.

Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik adalah proses yang dapat memengaruhi seorang individu untuk bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sistem politik dapat berupa input politik, output politik ataupun orang-orang yang menjalankan pemerintahan. Fungsi sosialisasi menurut Rush dan Althoff adalah:

1. melatih individu

2. memelihara sistem politik.

Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku dalam sistem politik. Indonesia misalnya, menganut ideologi negara, Pancasila. Oleh sebab itu, sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi diberlakukan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Hal ini merupakan proses pelatihan yang dilakukan negara terhadap warga negaranya. Pelatihan ini memungkinkan individu untuk menerima atau melakukan penolakan atas tindakan pemerintah, mematuhi hukum, melibatkan diri dalam politik ataupun memilih dalam pemilihan umum

TEORI ELITE POLITIK

Istilah elite secara etimologis berasal dari kata eligere, yang berarti memilih. Kata “elite” menunjuk pilihan, pilihan bangsa, budaya, kelompok usia, dan orang-orang yang menduduki posisi yang lebih tinggi. Dengan kata lain, elite adalah sekelompok kecil orang dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting.

Menurut Aristoteles, elite adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi ini merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik, bahwa pada setiap masyarakat terdapat minoritas yang membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoretis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles diperluas kajiannya oleh dua orang sosiolog politik Italia, yaitu Vifrdo Pareto dan Gaetano Mosca.

Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunya kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kecil itu disebut dengan elite, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elite adalah orang-orang berhasil yang menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat, yang terdiri atas pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik.

Adapun Gaetano Mosca, menyebutkan lapisan elite yang berkuasa dengan sebutan classe politica/political elite. Elite politik ini merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki kewenangan politik. Kelas elite ini terdiri atas minoritas terorganisasi yang akan memaksakan kehendaknya melalui “manipulasi ataupun kekerasan”, khususnya dalam demokrasi. Elite politik juga menunjukkan semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan menikmati setiap keuntungan dan kekuasaan. Kekuasaan yang mereka miliki tidak berasal dari komunitasnya atau posisi ekonomi, tetapi dari organisasinya yang berhubungan dengan kekuasaan publik negara.

Analisis Jurnal Political Strategy In Local Elections: Study of Bandung Munipacility Mayor In The 2003 and 2008 Elections

Pada kesempatan kali ini saya akan menganalisis mengenai jurnal strategi politik pada Pilkada Bandung 2003 dan 2008. Jurnal ini dibuat oleh Dr. Muslim Moefti. M. Si

Semoga dapat membantu dan menambah wawasan kepada siapapun yang membaca blog ini.

Pada pembahasan kali ini membahas mengenai adanya kelebihan dan kekurangan dalam strategi pemilihan kepala daerah. Sementara sisi positif dari pemilihan tidak langsung (dipilih oleh DPRD) relatif tidak memerlukan dana besar dalam proses pemilihan (Widodo, 2015).

Beberapa studi memang menyelidiki strategi untuk memenangkan pemilihan. Salah satunya adalah karya Gautama (2008), Gautama menjelaskan secara komprehensif tentang strategi memenangkan pemilihan langsung, baik dalam pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah. Secara teoritis, ia menjelaskan tentang bagaimana strategi kemenangan harus diatur dan bagaimana itu dilakukan dengan mempertimbangkan lingkungan politik, seperti organisasi sosial, ekonomi, dan budaya. Pekerjaan yang lebih komprehensif telah ditulis oleh Herry (2008), Studi ini dianggap deduktif secara teoritis karena lebih mengandalkan penalaran logis daripada data faktual sebagai karya ilmiah formal. tampaknya sangat pesimis tentang perkembangan demokratisasi di daerah karena faktor politik uang, kandidat yang dipilih adalah mereka yang dapat memberikan lebih banyak dana daripada yang lain, sehingga sulit untuk mendapatkan kepemimpinan yang bersih. Kesimpulan ini kemudian mengedepankan anggapan bahwa pada akhirnya, harapan masyarakat untuk terciptanya pemerintahan yang lebih bertanggung jawab, melalui mekanisme politik yang lebih demokratis, masih belum dapat dicapai. Seperti yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kristiadi (1996), disimpulkan bahwa “Tokoh masyarakat, baik formal maupun informal, diperlakukan sebagai panutan”. Dengan demikian, variabel model peran dan identifikasi partai politik.

Dalam strategi pemilihan kepala daerah ini memakai metodologi ini Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif yang dimotivasi oleh tiga pertimbangan yaitu:

– Lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan faktual.

-Kemampuannya untuk menyajikan sifat hubungan antara peneliti dan informan / responden.

– Lebih sensitif dan adaptif terhadap pola nilai (Moleong 1994).

Penelitian ini ternyata menggunakan sumber data kualitatif yang berasal dari data primer dan sekunder yang diperoleh dari teknik yang berbeda. Kedua data ini dapat diperoleh dengan melalui:

Pertama, melakukan wawancara mendalam dengan pembicara dan informan kunci yang dilakukan melalui dua teknik.

Kedua, menggunakan observasi terstruktur. Metode observasi ini bertujuan untuk mengamati gejala yang muncul terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Ketiga, menggunakan studi literatur. Dalam teknik ini, peneliti mengumpulkan bahan tertulis yang terkait dengan masalah penelitian.

Wawancara mendalam dengan pembicara dan informan kunci yang dilakukan melalui dua teknik:

(a) teknik wawancara gratis yang dilakukan dengan megajukan pertanyaan gratis kepada informan,

(b) teknik wawancara terstruktur yang dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada pembicara dan informan yang telah diatur sedemikian rupa dalam kuesioner.
Pada tahun 1810, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Cikapudung (sekarang kota Bandung). Pada awal abad ke-20, pemerintah Belanda memberikan otonomi kepada koloninya di Indonesia menerapkan sistem desentralisasi yang baru saja mereka adopsi. 
Tahap pemilihan walikota yang diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum Bandung segera diubah untuk mengakomodasi aturan baru melalui Rapat Pleno pada 6 Mei 2008. Meskipun aturan teknis belum selesai, Komisi Pemilihan mengizinkan kandidat independen untuk berpastipasi dalam pemilihan. 
Beberapa model kampanye politik, yaitu pertama. model komponen di mana kampanye diidentifikasi oleh pendekatan transmisi daripada interaksi dan model ini lebih satu arah. Kedua, model kampanye Ostergaard, di mana langkah pertama untuk sumber kampanye adalah mengidentifikasi masalah aktual, kemudian melakukan kampanye. Ketiga, model pengembangan lima tahap fungsional yang berfokus pada tahapan kegiatan kampanye, bukan pada proses pertukaran pesan antara kandidat dan  khalayak.  Keempat, model fungsi komunikatif yang dimulai dari surfacing (pemetaan) dan kemudian  pemetaan area kampanye.

Strategi politik dapat dilakukan dengan dua cara.

Pertama, kampanye politik digunakan sebagai strategi perluasan basis ofensif yang bertujuan untuk membentuk kelompok pemilih baru di samping pemilih yang ada. Kedua, implementasi politik adalah produk ditawarkan, yaitu politik baru atau lebih tepatnya manfaat yang dihasilkan oleh politik baru perlu diiklankan.

Dalam strategi ini, harus lebih banyak yang dipertimbangkan karena adanya transaksi politik. Seperti apa yang kita ketahui bahwa elit dan kualitas kebijakan yang dihasilkan memang bertujuan untuk melestarikan status qou dibanding menjadi Demokrasi yang lebih baik lagi.

Analisis “Fundamentalis dan Radikalis Islam di Tengah Kehidupan Sosial Indonesia

Assalamualaikum wr.wb

Pada kesempatan kali ini, saya akan menganalisis jurnal karya Dr. Muslim Moefti. M. Si

Abstrak

Artikel ini membahas tentang asal-usul fundalisme, peristiwa-peristiwa akibat adanya fundalisme, dan radikalisme di Indonesia maupun di dunia. Diskusi ini merupakan sebuah pembelajaran serta menjadi tantangan bagi masyarakat di Indonesia baik dikalangan anak muda maupun kalangan orang tua. Dengan mengambil teks-teks dari jurnal kontemporer yang mendeskripsikan apa yan menjadi formasi dari fundalisme dan radikalisme yang muncul di Indonesia. Kajian ini membahas berbagai motif, kesempatan, dan ciri-ciri dari kemunculan fundalisme dan radikalisme di Indonesia. Akhirnya, kajian ini pun digunakan dan menyarankan sebagaimana baiknya bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman fundalisme dan radikalisme tersebut.

Kata Kunci : fundalisme Islam; radikalisme agama; masyarakat Indonesia.

A. Pendahuluan

Dilihat dari sejarahnya, fundamentalisme islam diindonesia memang sedang menjadi isu yang sangat hangat dan menarik perhatian di kalangan luas, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Dengan timbulkan manifesto-manifesto yang sudah dilontarkan dari berbagai negara muslim makan fundamentalisme islam di Indonesia harus tetap kuat agar tidak terjadi insiden yang serius kembali seperti yang sudah terjadi. Apalagi dengan banyaknya kelompok-kelompok yang dikaitkan dengan fundamentalisme ini pada umumnya merupakan bagian dari penentang pemerintah yang berkuasa, sangat berbahaya sekali dan sebagaimana berbagai pencitraan yang tidak selalu tepat, maka dalam pemakaian istilah fundamentalisme ini untuk mendiskripsikan atau identifikasi terhadap gerakan-gerakan Islam yang menganut arus tertentu, juga tidak luput dari berbagai problematika serius. Yang menjadi alah satu persoalannya ini adalah bahwa fundamentalisme lahir dalam suatu konteks kebudayaan dan agama yang spesifik, yakni pengalaman Kristen.

B. Metode

Pada metode ini digunakan metode penelitian kualitatif karena memang metode penelitian ini lebih fokus perhatiannya pada realitas sosial yang selalu berunah. Dan bagusnya metode penelitian ini dasarkan pada tiga keseimbangan yang memang menjadikan penelitian lebih mudah seperti apa yang dikemukakan oleh Bodgan dan Taylor mengenai penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati.

C. Hasil dan Pembahasan

Pada hasil pembahasan ini terdapat istirahat fundamentalisme yaitu dalam pandangan Martin van Bruinessen, mengimplikasikan suatu peneguhan kembali atas kebenaran kepercayaan sebagaimana ada dalam kitab suci Bibel, terutama dalam menghadapi teori evolusinya Darwin. Ternyata menimbulkan beberapa kesulitan tertentu. 
Yang pertama, secara doktrinal, yaitu di mana Islam memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan ajaran dan tradisi Kristiani. Kedua terma fundamentalisme yang mulai diletakkan kepada kecenderungan tertentu dalam kepercayaan dan agama-agama lain non Kristiani, terutama Islam, adalah merupakan fenomena yang dimulai sekitar 1970-an.

Wiliam E. Shepard telah mencatat karakteristik umum yang melekat dalam diri kelompok Islam radikal atau Islam fundamentalis ini, antara lain:

1. mengklaim bahwa Islam merupakan suatu totalitas dari segala aspek kehidupan sosial dan personal.

2. Sangat menekankan kekhususan Islam.

3. kaum fundamentalis cenderung tidak mau berkompromi terhadap persoalan-persoalan minoritas nonmuslim.

4. kaum fundamentalis atau radikal Islam menekan atau mendorong sangat perlunya penerapan syari’at dalam praktek kehidupan.

5. kaum fundamentalis menekankan kesadaran kepada autentisitas atau keaslian, juga memanfaatkan secara efektif berbagai metode politik dan organisasi sosial yang bersumber dari Barat dan untuk menyesuaikan setidaknya simbol-simbol dan ide-ide politik Barat. 
6. Kaum fundamentalis pada kenyataannya menerima gagasan (ide) tentang kemajuan.

Fundamentalisme ini merupakan sebuah suku kata yang bukan berasal atau ditarik dari kesejarahan Islam dan karenanya dianggap a-historis, melainkan produk fenomena historis dari peradaban dan agama samawi lain, bukan berarti secara serta merta akan menyesatkan untuk digunakan dalam menjelaskan realitas kontemporer dalam gerakan Islam.

D. Kesimpulan 


Di bagian kesimpulan ini ada beberapa hal yang dapat dicatat dari menularnya sikap fundamentalis dan radikalis di kalangan anak muda Indonesia, seperti : tidak adanya kredibilitas visi nasional sekuler dan kurangnya sarana-sarana efektif untuk membentengi gangguan dari luar, dengan demikian sebaiknya untuk kedepannya kelompok masyarakat menengah dan atas harus menggembleng impian dari kaum muda terdidik dan memberikan kepada meraka perasaan menjadi bagian yang penting dari grand design cita-cita nasional dan kemanusiaan.

Teori Kekuasaan

Dalam ilmu politik, konsep kekuasaan merupakan inti politik. Para sarjana ilmu politik mendefinisikan politik sebagai semua kegiatan yang berkaitan dengan memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. W.A. Robson mengatakan bahwa ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses, ruang lingkup, dan hasil. Fokus perhatian tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.

Robert M. Mac Iver mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.

Charles F. Audrain mendefinisikan kekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan tingkah laku menyesuaikan dari orang lain.

Miriam Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan atau tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan.

Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan, sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Setiap manusia mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu, diperlukan pemaksaan kemauan atas orang atau kelompok lain. Di sinilah muncul kekuasaan.

Seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan jika memiliki sumber daya kekuasaan. Sumber daya kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau keterampilan, dan kepercayaan atau agama.

Teori Sistem dan Teori Negara

Gabriel A. Almond dan Powell Jr. dalam World Politics mengatakan, “Easton merupakan sarjana politik pertama yang menulis politik dalam istilah ‘sistem’ secara eksplisit”…

Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi politik negara. Sementara itu, pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep David Easton. Sistem adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing untuk mencapai tujuan suatu negara.

Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk karena sistem politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat, seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan, dan sebagainya.

PERKEMBANGAN DAN DEFINISI ILMU POLITIK

Ilmu politik yang dahulu menjadi bagian dari berbagai disiplin tersebut, berkembang menjadi bidang studi yang khusus, yaitu studi teoretis dan praktik tentang menyusun negara dan politik yang telah dimulai sekurang-kurangnya pada masa Yunani kuno, kurang lebih 500 sampai 300 SM.

Sekalipun demikian, kenyataannya, dalam pembahasan secara tradisional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, ilmu politik dapat dikatakan lebih tua umurnya.

Menurut Miriam Budiarjo, ‘Ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus, dan ruang lingkup yang jelas.’

Ilmu politik terus mengalami perkembangan, perkembangan itu terlihat dari beragamnya pendekatan (approaches) untuk memahami dan menjelaskan fenomena politik, mulai pendekatan kelembagaan, perilaku, kelembagaan baru, pos-kelembagaan, dan pendekatan lainnya.

Perkembangan ini tidak lepas dari semakin kompleksnya fenomena politik di berbagai negara, baik pada level negara, kelompok, maupun individu.

Di Yunani kuno misalnya, pemikiran mengenai negara sudah dimulai pada tahun 450 SM, seperti terbukti dalam karya-karya ahli sejarah Herodotus, atau filsuf-filsuf, seperti Plato, Aristoteles dan sebagainya.

Plato (427-347 SM) dipandang sebagai bapak filsafat politik, sedangkan Aristoteles dipandang sebagai bapak ilmu politik, sekurang-kurangnya di Barat. Keduanya memandang negara dari perspektif filsafat yang melihat semua pengetahuan sebagai kesatuan utuh.

Akan tetapi, berbeda dengan Plato, Aristoteles lebih memberikan dukungan pada generalisasi dan preferensi nilainya, melalui fakta yang diamati dengan nyata.